Beberapa Faktor Ini yang Meningkatkan Risiko Long Covid, Tetaplah Waspada

Jakarta - Long COVID-19 adalah fenomena di mana pasien COVID-19 yang sudah sembuh, masih memiliki gejala dan bersifat jangka panjang.

Dilansir dari laman CDC, Long COVID-19 dapat menyerang penderita COVID-19 yang sebelumnya memiliki gejala parah, ringan (moderate), bahkan yang tidak memiliki gejala sekalipun.

Gejala Long COVID-19 berbeda-beda untuk masing-masing orang. CDC mencatat bentuk gejalanya dapat berupa:

Kesulitan bernapas, letih dan lesu, gejala yang semakin berat setelah aktivitas fisik, kesulitan konsentrasi (mind fog), batuk, nyeri perut dan dada, dan masih banyak lagi.


Baru baru ini peneliti berhasil menemukan hubungan antara kemungkinan seseorang terjangkit Lengthy COVID-19, dengan beberapa faktor kesehatan.

Studi yang dipublikasikan per 24 Januari 2022 lalu di jurnal Cell ini memonitor 210 pasien COVID-19, dan melihat perkembangan pasien tiga sampai empat bulan setelah didiagnosis positif COVID-19 pertama kali.


Sekitar 70 persen dari pasien yang diteliti ini adalah pasien yang menjalani perawatan rumah sakit.

Tim peneliti mengambil sampel darah dan nasal swab ketika awal medical diagnosis.

Selang beberapa bulan, peneliti meminta pasien yang sudah sembuh mengisi survei.

Pasien menjawab pertanyaan seputar gejala yang masih tertinggal pasca-sembuh dari infection corona, seperti lelah, napas pendek, diare, ingatan lemah, sulit konsentrasi dan hilang perasa dan penciuman.

Sekitar 37 persen pasien mengaku memiliki tiga atau lebih gejala Long COVID, 24 persen melaporkan masih memiliki satu atau dua gejala, dan sisa 39 persen melaporkan tidak memiliki gejala apa-apa.

Pada kelompok yang memiliki tiga atau lebih gejala Lengthy Ccovid, peneliti menemukan bahwa mereka menunjukkan minimal satu dari empat faktor risiko Lengthy COVID-19 yang diidentifikasi.

Faktor ini tidak berhubungan apakah pasien memiliki gejala berat, ringan, atau bahkan tidak bergejala ketika positif COVID-19.

Faktor-faktor yang peneliti temukan akan meningkatkan risiko seorang pasien COVID-19 akan mengidap Long COVID-19 atau tidak antara lain:


Kuantitas product genetik virus SARS-CoV-2 di dalam darah ketika awal-awal infeksi


Diketahui sekitar satu per tiga pasien yang mengidap Long COVID-19 memiliki cukup tinggi kandungan product genetik SARS-CoV-2 atau RNA di dalam darahnya ketika didiagnosis.

Kelompok ini mengaku memiliki gejala Lengthy COVID-19 seperti masalah ingatan.

Obat anti-virus tertentu dapat digunakan untuk menekan viral tons atau jumlah infection dalam tubuh.

"Semakin cepat seseorang dapat menghilangkan infection, semakin kecil kemungkinan mengembangkan infection persisten atau autoimunitas, yang dapat mendorong Covid panjang," ungkap Yapeng Su, salah satu peneliti, kepada Live Science.

Virus Epstein Barr (EBV) yang sudah ada dalam tubuh, lalu aktif lagi


Virus Epstein-Barr adalah infection yang berasal dari keluarga virus Herpes, dan termasuk infection yang cukup umum menyebar antara manusia.

Ketika berhasil masuk tubuh manusia, EBV akan menimbulkan penyakit yang disebut sebagai Transmittable mononucleosis atau disingkat menjadi mono.

Gejala infeksi EBV biasanya akan muncul di beberapa minggu pertama, setelah itu infection ini akan menjadi tidak aktif tapi tetap bersirkulasi di dalam tubuh.

Keberadaan EBV di dalam tubuh inilah yang peneliti curiga berpotensi memperparah Long COVID-19.

Beberapa pasien studi yang memiliki infection EBV di darahnya menunjukkan kemungkinan tinggi untuk mengidap masalah ingatan di kemudian hari, ditambah dengan gejala lain seperti lelah dan kemunculan spit, cairan kental yang mengisi paru-paru.

"Kita biasanya tidak dapat mendeteksi fragmen EBV dalam darah; deteksi fragmen EBV dalam darah adalah tanda reaktivasi mereka," jelas Yapeng Su.

Malfungsi antibodi tertentu


Pada sampel darah pasien, terdapat antibodi yang dapat dijadikan petunjuk bagaimana tubuh memerangi COVID-19.

Peneliti menemukan antibodi yang berbeda memengaruhi risiko seseorang mengidap Long COVID-19.

Sebagai contoh, pada sampel darah salah satu pasien peneliti menemukan adanya antibodi anti-IFN-α2.

Antibodi ini terikat dengan interferon anti-IFN-α2 yang kemudian terlibat dengan aktivitas spesifik sel imun.

Keberadaan anti-IFN-α2 dapat menimbulkan malfungsi sel imun dan juga mendorong produksi radang dalam tubuh.

Selain anti-IFN-α2, peneliti juga menemukan antibodi lain yang terlibat pembentukan gejala Lengthy COVID-19.

Sudah didiagnosis Diabetes tipe 2 sebelumnya


Hampir satu per tiga pasien yang mdngidap Lengthy COVID-19 memiliki diabetes tipe 2.

Gejala Long COVID-19 seperti lelah, batuk, dan masalah pernapasan lain cukup umum di kelompok ini.

Beberapa dari faktor di atas dapat diketahui ketika seorang pasien didiagnosis COVID-19, sehingga dokter dapat memberi pengobatan khusus yang bisa menekan kemungkinan seorang pasien mengidap Lengthy COVID-19 ke depannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Artis Dunia yang Membela Kemerdekaan Palestina Selain Bella Hadid

Universitas Surabaya dan SolarRUV Resmikan Solarpreneur Development Center

Ilmuwan Mendetksi Sebuah Mutasi Virus Covid-19 Baru di Afrika Selatan, Yaitu Varian Baru C.1.2